Membedah Ekonomi Kerakyatan
Tiada kata bosan dalam membicarakan perekonomian negeri ini. Setiap hari, rakyat Indonesia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka memperoleh penghasilan dari hasil bekerja. Penghasilan itulah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setidaknya, kebutuhan hidup adalah mengisi perutnya dengan makanan sehari-hari. Kebutuhan hidup lainnya juga masih banyak yang harus dipenuhi. Kebutuhan pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan berbagai macam kebutuhan lainnya juga harus dipenuhi guna membuat hidup rakyat lebih berarti. Semua upaya yang memenuhi kebutuhan hidup itu masuk ke dalam kegiatan ekonomi.
Negara ini pun punya kewajiban untuk melaksanakan kegiatan ekonomi. Sebab negara memiliki kewajiban untuk menyejahterakan rakyatnya, negara harus memenuhi kebutuhan rakyatnya. Alhasil, negara harus menggerakkan perekonomian rakyat secara penuh agar kebutuhan rakyatnya terpenuhi. Namun, ekonomi seperti apa yang harus digerakkan? Bagaimana langkah-langkahnya?
Pasalnya, banyak sekali sistem ekonomi yang bergentayangan. Berbagai macam sistem ekonomi dari berbagai ideologi –yang tidak perlu dijelaskan– banyak berkeliaran di dunia ini. Namun, Konstitusi UUD’45 (Undang-Undang Dasar 1945) telah mengungkapkan sistem ekonomi seperti apa yang dilaksanakan. Hal ini tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :
“1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Sering dikatakan bahwa Pasal 33 UUD ’45 ini dijuluki sebagai sistem ekonomi kerakyatan. Sistem inilah yang mencerminkan penyusunan konsep asli ekonomi Indonesia yang sebenarnya. Sistem ini disusun oleh parafounding fathers tanah air. Oleh karenanya, sistem ekonomi kerkyatan inilah yang menjadi acuan dalam nahkoda perekonomian Indonesia.
Empirisme Historis
Lahirnya ekonomi kerakyatan tidak semata-mata lahir karena “wangsit” ataupun “perasaan” semata, tetapi karena ada alasan historis. Sebelum beranjak pada alasan tersebut, harus diketahui bahwa ekonomi kerakyatan digagas –tentunya dibantu oleh beberapa pemikir lain– oleh salah satuFounding Father, Mohammad Hatta.
Ada alasan historis sistem ekonomi kerakyatan ini lahir. Kesengsaraan rakyat karena alam liberalisme yang dibangun oleh Belanda pada 1870 –Agrarische Wet– ini terjadi. Menurut Hatta, saat itu tingkat keuntungan yang diperoleh para kapitalis berkisar 60 persen hingga 90 persen. Tidak hanya itu, rakyat pribumi –yang menjadi buruh– pun diperas dengan jam kerja antara 10-14 jam per hari, sedangkan upahnya hanya 30-50 sen per hari.
Hatta sendiri memiliki traumatic historis sistem liberalisme akut. Hal ini diungkapkan dalam secercah pidatonya terkati demokrasi sosial.
“Di mata perekonomian kapitalis yang datang menyerbu, Indonesia merupakan suatu perekonomian besar. Eksploitasinya didasarkan kepada dua faktor yang menguntungkan, yaitu tanah yang subur dan upah buruh yang murah. Dua faktor yang memperbesar tenaga konkurensi! Produksi tidak dilakukan untuk memuaskan keperluan di dalam negeri, melainkan untuk pasar dunia yang menjamin keuntungan yang sebesar-besarnya. Sebagai daerah penjualan barang-barang industry Nederland, Indonesia belum begitu berharga. Fungsi ekonominya yang terutama ialah sebagai daerah produksi semata-mata. Karena itu, export economie menjadi corak perekonomian Hindia Belanda.”
Terbentuknya sistem ekonomi kerakyatan bukanlah sekadar angan-angan, melainkan ada unsur pembelajaran historis dari keadaan Hindia-Belanda yang suram. Empirisme historis memberikan suatu kebaikan bagi kita agar tidak mengulanginya kembali. Tepat sekali yang dikatakan oleh Roeslan Abdulgani, bahwa dalam keadaan sosial-ekonomi yang telah digunakan oleh sejarah, sifat kebangsaan Indonesia mau tidak mau dengan harus sejalian dengan kerakyatan dan keadilan sosial. Sistem ekonomi kerakyatan terbentuk untuk memperoleh keadilan bagi rakyat Indonesia.
Sebagaimana disimpulkan, Hatta menerangkan tiga sumber dari cita-cita demokrasi sosial (kata lain ekonomi kerakyatan), yakni 1) paham sosialisme barat dengan dasar-dasar prikemanusiaan sebagai tujuannya; 2) ajaran Islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan dalam masyarakat sebagai makhluk Tuhan; 3) pengetahuan dengan berdasar kolektivisme. Tiga sumber inilah yang menjadi bahan pijakan dalam sistem ekonomi kerakyatan.
Usaha Bersama dan Azas kekeluargaan
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan,” sebuah bunyi yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian orang, namun beresensi penting. Terdapat dua paduan kata yang penting dalam Pasal 33 Ayat 1 tersebut. Dua paduan kata itu berupa “usaha bersama” dan “azas kekeluargaan”. Masing-masing paduan kata tersebut memiliki makna, membentuk koherensi yang mendalam.
Kata “usaha bersama” menjadi salah satu penekanan dalam sistem ekonomi kerakyatan. “Usaha bersama” yang dimaksud bercirikan koperasi. Koperasi menjadi sistem usaha ekonomi yang tersusun dalam gerakan kolektif seara kecil-kecilan. Koperasi hidup berdasarkan kumpulan anggota, bukan modal. Mereka menggerakkan perekonomian secara bersama-sama, saling melengkapi satu sama lain.
Kata “azas kekeluargaan” perlu digarisbawahi sebagai prinsip dari perekonomian tersebut. Secara etimologi, Azas menjadi sebuah dasar, sedangkan kekeluargaan bermakna sifat keluarga. Artinya, sistem perekonomian ini berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang menganggap manusia seperti layaknya saudara, bahkan keluarga sendiri. Namun, pengertian asas kekeluargaan lebih daripada itu. Kata kekeluargaan sebenarnya sudah diambil berdasar pengajaran dan pendidikan pada masa taman siswa yang dibentuk oleh Ki Hajar Dewantara. Dari situ, kata kekeluargaan terus mengembangkan definisinya secara meluas.
Paduan kata “usaha bersama” dan “azas kekeluargaan” membentuk koherensi bahwa perekonomian negeri ini berdasarkan gerakan kolektif seperti koperasi dengan prinsip kekeluargaan yang kokoh. Gerakan koperasi ditopang oleh kekeluargaan sehingga menghasilkan gerakan yang “mengikat” antaranggotanya satu sama lain. Dengan kata lain, koperasi tidak hanya sekadar mementingkan kepentingan ekonomi, tetapi juga prinsip saling membantu dan tolong-menolong yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Hal ini berbeda dengan koperasi yang dibentuk oleh kaum barat. Oleh karenanya agar lebih jelas, Hatta menekankan koperasi Indonesia sebagai berikut.
“Koperasi kita dari semulanya dipakai tidak semata-mata ekonomis, tetapi dasar gotong roong dan kerja sama, sedang tindakan ekonomi yang rasional ditanamkan ke dalamnya. itu sebabnya akhirnya diambil perkataan “azas kekeluargaan” untuk membedakan koperasi Indonesia dari koperasi barat yang semata-mata beroriantasi kepada ekonomi saja!”
Koperasi, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan Swasta
Ekonomi kerakyatan memiliki ciri pokok. Ciri pokok tersebut terlihat dari hubungan antara koperasi, BUMN, dan swasta. Pola hubungan antara ketiganya memiliki sinergisitas yang seimbang, yang mana memiliki karakter dalam pengelolaannya. Dominasi pengelolaan ekonomi disesuaikan dengan fungsi masing-masing. Semua itu –koperasi, BUMN, dan swasta– memperoleh jatah yang jelas.
Sudah jelas, bahwa koperasi adalah soko guru perekonomian nasional. Pasal 33 Ayat 1 UUD ’45 telah memberikan penjelasan terkait hal tersebut. Ada hal menarik di mana koperasi menjadi soko guru perekonomian nasional. Seperti diketahui, koperasi merupakan kumpulan anggota, bukan kumpulan modal. Koperasi hadir untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang kecil-kecil. Karena koperasi merupakan kumpulan para anggota, mereka bersatu padu untuk memenuhi kebutuhannya secara bergotong royong melalui koperasi. Pengelolaannya demokratis. Semua anggota berhak memberikan usul,ataupun menyanggah kebijakan dari para pengurus. Oleh karenanya, koperasi tidak bisa dijalankan secara individualis, atau hanya untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Koperasi hidup karena keaktifan anggotanya.
Maka dari itu, koperasi mampu membentuk keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Keadilan ekonomi terjadi ketika masing-masing anggota punya kesempatan yang sama untuk memperoleh manfaat dari hasil usaha koperasi, berdasarkan keaktifan anggota. Sementara itu, Keadilan sosial terjadi ketika anggota memperoleh keadilan dalam distribusi pendapatan nasional itu sendiri. Kedua ini bisa terwujud dalam koperasi. Dengan kata lain, koperaasi bisa mewujudkan keadilan sosial yang menyangkut pembagian dan juga keadilan ekonomi yang menyangkut kesempatan.
Tidak hanya koperasi, negara juga mengambil peran dalam pengelolaan perekonomian. Hal ini teruraikan dalam Pasal 33 Ayat 2 dan 3, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara (Pasal 33 Ayat 2); Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 Ayat 3)”. Uraian tersebut jelas bahwa negara mengambil peran penting dalam perekonomian Indonesia.
Dalam ekonomi kerakyatan, negara bertugas untuk mensejahterakan rakyatnya. Artinya, kebijakan ekonomi yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat harus dikendalikan oleh negara. Sebagaimana hal yang diuraikan oleh Pasal 33 Ayat 2 dan 3, negara harus menguasai cabang-cabang produksi, terutama sumber daya alam dan kekayaannya, agar dapat mengelolanya dengan baik. Dengan kata lain, pengelolaan ekonomi oleh negara adalah pengelolaan cabang-cabang ekonomi yang besar.
Pengelolaan negara terhadap perekonomian memang terkesan monopoli, namun hal tersebut digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh, pengelolaan minyak yang dikuasasi oleh negara dengan BUMN Pertamina sebagai pengelolanya harus bisa memberikan harga murah terhadap kebutuhan minyak tersebut. Dengan memberi harga murah pada kebutuhan minyak, rakyat tidak akan “tercekik” karena himpitan kebutuhan ekonomi. Kesejahteraan meningkat.
Prinsip ekonomi kerakyatan juga memperbolehkan swasta dalam mengelola perekonomian. Swasta memperoleh jatah untuk mengembangkan dirinya, namun memiliki batas. Mereka boleh mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi peran swasta tidak boleh sampai jatuh kepadafree fight liberalism. Oleh karenanya, peran swasta harus tetap diatur oleh negara. Jangan sampai justru negara yang diatur oleh swasta. Keberadaan swasta tetap dianggap penting karena swasta dapat memupuk modal masyarakat guna menyusun fungsi kekuatan perekonomian nasional. Swasta menjadi penyedia barang dan jasa bagi masyarakat.
Jika dilihat dari pemahaman masing-masing sektor, terlihat bahwa sebenarnya ketiga sektor ini memiliki sinergi satu sama lain. Masing-masing sektor punya fungsi strategis. Koperasi mulai membangun dari bawah, melaksanakan yang kecil dengan keperluan rakyat sehari-hari; pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang besar, menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sementara, swasta bergerak di jalur individunya dengan batasan-batasan etik. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa koperasi bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan keadilan sosial; swasta sebagai pemupukan modal masyarakat sebagai meningkatkan pertumbuhan ekonomi; sektor usaha negara melindungi dan melayani kebutuhan masyarakat banyak.
Epilog
Sistem ekonomi kerakyatan menjadi sistem ekonomi jalan pertengahan. Artinya, sistem ekonomi ini menekankan keseimbangan antara pasar, negara, dan juga gerakan ekonomi kolektif. Oleh karenanya, sistem ekonomi tidak terpaku pada liberalisme sentris (free fight liberalism); tidak juga komunisme sentris. Sistem ini menekankan stabilitas ekonomi dengan dengan jalur pemerataan pembangunan.
Tercetusnya konstitusi pasal 33 UUD ’45 yang terkait dengan pembangunan ekonomi sejahtera memberi konsekuensi bahwa sistem ekonomi kerakyatan harus diimplementasikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Moebyarto mengenai strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi nasional, sistem ekonomi kerakyatan dideskripsikan dalam lima hal, 1) roda perekonomian nasional digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral; 2) dalam masyarakat, selalu ada kehendak yang kuat untuk mewujudkan keadaan kemerataan sosial ekonomi, yaitu keadaan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan nasional; 3) prioritas dari setiap kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi nasional yang kuat dan tangguh, yang berarti bahwa nasionalisme dan patriotism menjiwai kebijaksanaan ekonomi yang stabil; 4) koperasi adalah soko guru perekonomian nasional yang merupakan pengejawentahan demokrasi ekonomi; 5) ada imbangan jelas antara perencanaan sentral dalam strategi kebijakan ekonomi nasional yang desentralisasi pelaksanaannya di daerah-daerah. Oleh karena itu, implementasi dari deskripsi strategi dari ekonomi kerakyatan ini harus bisa terlaksana.
Membangun ekonomi kerakyatan nasional sama dengan membangun nasionalisme Indonesia secara patriotik. Patriotisme para anak bangsa terwujud ketika mereka melaksanakan pembangunan nasional sesuai dengan identitas bangsanya sendiri, tanpa sekadar ikut-ikutan gaya pembangunan negara adidaya. Memiliki identitas nasional dapat membentuk bangsa kita untuk turut serta memajukan peradaban –karena peradaban terbentuk berdasar identitas.
Tepat sekali pernyataan yang dikatakan oleh Roeslan Abdulgani mengenai nasionalisme bangsa ini, “Nasionalisme Indonesia adalah bukan een historische categorie van het tijdvak van het opkomende kapitalisme seperti yang dikatakan Stalin, melainkan historische categorie dari keruntuhan kolonialisme dan imperialisme.” Artinya, nasionalisme setiap bangsa memiliki akar sejarahnya sendiri yang kemudian berproses menjadi identitas –karena identitas terbentuk dari sejarah. Dengan demikian, sistem ekonomi kerakyatan yang dibangun secara konsisten mampu menguatkan nasionalisme Indonesia.